MUHSIN HARIYANTO
Dosen Tetap FAI UM Yogyakarta dan Dosen Tidak
Tetap STIKES ’AISYIYAH Yogyakarta
Imam As-Suyuthi, di dalam kitabnya Lubab
al-Nuqul fî AsbabM al-Nuzul menjelaskan sabab al-nuzul Q.s. Al-’Alaq
[96]: 9-10, dengan mengutip sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu
Jarir dari Ibnu Abbas. ‘’Ketika Rasulullah Muhammad saw akan mengerjakan
shalat, tiba-tiba Abu Jahal, seorang yang sangat
memusuhi Rasulullah saw — yang nama aslinya adalah Abdul Hakam bin Hisyam — datang, lalu melarangnya (agar ia tidak mengerjakan shalat). Lalu – berdasarkan peristiwa itu — Allah SwT menurunkan ayat ini hingga ayat kadzibatin khathiah ([yaitu] ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka) (Q.s. Al-’Alaq [96]: 16). Itulah Abu Jahal yang hadir (kurang-lebih) 14 abad yang lalu. Dia — dengan gagah berani — melarang seorang hamba Allah SwT — Muhammad (Rasulullah) saw — yang akan bermunajat (dengan shalatnya) kepada Rabb-nya.
Dikisahkan, bahwa sejak sama-sama remaja Abu Jahal senantiasa mengolok-olok Muhammad. Bahkan diceriterakan pula dalam beberapa riwayat, yang otentisitas dan validitasnya masih diperselisihkan, keduanya (Abu Jahal dan Muhammad di masa remaja) pernah juga berkelahi, dan kebetulan Abu Jahal
kalah dan – bahkan diceriterarkan — terkilir lututnya. Oleh karena itu, ia sangat dendam kepada Muhammad. Ditambah lagi ada sebuah ceritera yang menyatakan bahwa Abu Jahal pernah melamar Khadijah binti Khuwailid, tetapi Khadijah menolak lamaran tersebut. Dan beberapa bulan kemudian, Muhammad meminang Khadijah dan langsung diterima. Hati Abu Jahal – tentu saja — semakin dengki kepada Muhammad.
Setelah kaum dhuafa’ (orang-orang lemah) masuk Islam, Abu Jahal memproklamasikan dirinya sebagai ‘preman’ kota Makkah. Kaum dhuafa’ yang masuk Islam – semuanya, tanpa kecuali — mendapat teror dan bahkan penyiksaan pedih dari Abu Jahal. Misalnya, Yasir dan isterinya Sumayyah pernah mendapat siksaan — sampai syahid — di tangan Abu Jahal.
Zaman telah berganti. Abu Jahal memang sudah mati. Namun, karakternya tak akan pernah mati. Mati satu tumbuh seribu. Dia bisa menjadi benda hidup atau juga benda mati. Ingat, tidakkah kita merasa bahwa selama ini kita ternyata dikelilingi juga oleh benda-benda (hidup dan mati) yang berpotensi untuk menjadi ‘Abu Jahal Modern’ yang mengusung ‘spirit’ setan.
Jika Abu Jahal zaman dulu dengan terang-terangan melarang Nabi Muhammad saw ketika hendak mengerjakan shalat, para ‘Abu Jahal Modern’ ini dengan cara halus, cara yang tidak kita sadari, terus membujuk diri kita. Jika tak berhasil membujuk dalam meninggalkan shalat, sehingga diri kita masih belum melupakan shalat. Minimal ‘dia’ telah banyak berhasil menggoda umat manusia untuk menunda-nunda waktu shalat. Karena, ternyata
sampai saat ini, banyak teman-teman, saudara-saudara, keluarga kita yang ketika adzan sudah dikumandangkan masih asyik menonton televisi atau asyik-masyuk bertelepon ria dengan ponselnya. Dengan satu ucapan: ‘nanggung’, demikian alasannya. Hal yang sepele, tetapi kadang-kadang mengalahkan suatu kewajiban yang sudah jelas perintahnya.
Semakin modern zaman, semakin modern pula cara-cara ‘Abu Jahal Modern’ dalam menggoda kita. Ungkapan ini setidaknya dapat membuat kita untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi tipu-dayanya di sekitar kita, apa pun bentuknya.
Mau tidak mau, kita sendiri yang harus bisa mengatur dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai justru kita sendiri yang menciptakan ‘Abu Jahal Modern’, yang memberi kenikmatan sesaat, namun menjerumuskan kita ke dalam kekufuran pada Allah SwT selama-lamanya. Tidak hanya “shalat” yang kita remehkan, tetapi (bahkan) semua bentuk amal shalih yang seharusnya kita kerjakan. Hingga akhirnya, bisa jadi, “kita terjebak dalam kemaksiatan”.
Abu Jahal itu pun kini bisa berubah wujudnya menjadi para provokator yang selalu meneriakkan terompet kebencian kepada Islam dan umat Islam dengan beragam caranya. Hingga – bukan tidak mungkin – kebencian-kebencian publik terhadap Islam dan umat Islam, kini dan masa datang, akan terus menjadi realitas yang perlu kita sikapi dengan cerdas untuk – secara sistematik – kita hadapi dengan isu tandingan yang lebih menyejukkan. Agar kita (baca: umat Islam) tidak selalu dihantui oleh opini publik yang menyesatkan terhadap Islam dan umat Islam. Termasuk di dalamnya, ketika kita menghadapi menghadapi fenomena Islamophobia yang bukan hanya terjadi di kalangan komunitas non- Muslim, tetapi bahkan telah merasuk ke dalam jantung kehidupan umat Islam sendiri, yang – tentu saja — sangat memprihatinkan.
Untuk menyelesaikan persoalan umat Islam, ’Kita’ tidak bisa banyak berharap pada orang lain. Saatnya “kita” bekerja mandiri untuk melangkah “dengan sikap percaya diri”, melawan Abu Jahal modern yang berupaya untuk menciptakan citra negatif Islam, Islam yang menakutkan, menuju pada strategi pencitraan Islam yang serba positif, Islam yang ramah dan menyejukkan. “Islam rahmatan lil ’alamin yang ditunggu-tunggu, bukan saja oleh umat
Islam, tetapi oleh seluruh umat manusia. Dengan mengedepankan “wajah ramah Islam” untuk semuanya. Insya Allah.
memusuhi Rasulullah saw — yang nama aslinya adalah Abdul Hakam bin Hisyam — datang, lalu melarangnya (agar ia tidak mengerjakan shalat). Lalu – berdasarkan peristiwa itu — Allah SwT menurunkan ayat ini hingga ayat kadzibatin khathiah ([yaitu] ubun-ubun orang yang mendustakan lagi durhaka) (Q.s. Al-’Alaq [96]: 16). Itulah Abu Jahal yang hadir (kurang-lebih) 14 abad yang lalu. Dia — dengan gagah berani — melarang seorang hamba Allah SwT — Muhammad (Rasulullah) saw — yang akan bermunajat (dengan shalatnya) kepada Rabb-nya.
Dikisahkan, bahwa sejak sama-sama remaja Abu Jahal senantiasa mengolok-olok Muhammad. Bahkan diceriterakan pula dalam beberapa riwayat, yang otentisitas dan validitasnya masih diperselisihkan, keduanya (Abu Jahal dan Muhammad di masa remaja) pernah juga berkelahi, dan kebetulan Abu Jahal
kalah dan – bahkan diceriterarkan — terkilir lututnya. Oleh karena itu, ia sangat dendam kepada Muhammad. Ditambah lagi ada sebuah ceritera yang menyatakan bahwa Abu Jahal pernah melamar Khadijah binti Khuwailid, tetapi Khadijah menolak lamaran tersebut. Dan beberapa bulan kemudian, Muhammad meminang Khadijah dan langsung diterima. Hati Abu Jahal – tentu saja — semakin dengki kepada Muhammad.
Setelah kaum dhuafa’ (orang-orang lemah) masuk Islam, Abu Jahal memproklamasikan dirinya sebagai ‘preman’ kota Makkah. Kaum dhuafa’ yang masuk Islam – semuanya, tanpa kecuali — mendapat teror dan bahkan penyiksaan pedih dari Abu Jahal. Misalnya, Yasir dan isterinya Sumayyah pernah mendapat siksaan — sampai syahid — di tangan Abu Jahal.
Zaman telah berganti. Abu Jahal memang sudah mati. Namun, karakternya tak akan pernah mati. Mati satu tumbuh seribu. Dia bisa menjadi benda hidup atau juga benda mati. Ingat, tidakkah kita merasa bahwa selama ini kita ternyata dikelilingi juga oleh benda-benda (hidup dan mati) yang berpotensi untuk menjadi ‘Abu Jahal Modern’ yang mengusung ‘spirit’ setan.
Jika Abu Jahal zaman dulu dengan terang-terangan melarang Nabi Muhammad saw ketika hendak mengerjakan shalat, para ‘Abu Jahal Modern’ ini dengan cara halus, cara yang tidak kita sadari, terus membujuk diri kita. Jika tak berhasil membujuk dalam meninggalkan shalat, sehingga diri kita masih belum melupakan shalat. Minimal ‘dia’ telah banyak berhasil menggoda umat manusia untuk menunda-nunda waktu shalat. Karena, ternyata
sampai saat ini, banyak teman-teman, saudara-saudara, keluarga kita yang ketika adzan sudah dikumandangkan masih asyik menonton televisi atau asyik-masyuk bertelepon ria dengan ponselnya. Dengan satu ucapan: ‘nanggung’, demikian alasannya. Hal yang sepele, tetapi kadang-kadang mengalahkan suatu kewajiban yang sudah jelas perintahnya.
Semakin modern zaman, semakin modern pula cara-cara ‘Abu Jahal Modern’ dalam menggoda kita. Ungkapan ini setidaknya dapat membuat kita untuk lebih berhati-hati dalam menghadapi tipu-dayanya di sekitar kita, apa pun bentuknya.
Mau tidak mau, kita sendiri yang harus bisa mengatur dan memanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai justru kita sendiri yang menciptakan ‘Abu Jahal Modern’, yang memberi kenikmatan sesaat, namun menjerumuskan kita ke dalam kekufuran pada Allah SwT selama-lamanya. Tidak hanya “shalat” yang kita remehkan, tetapi (bahkan) semua bentuk amal shalih yang seharusnya kita kerjakan. Hingga akhirnya, bisa jadi, “kita terjebak dalam kemaksiatan”.
Abu Jahal itu pun kini bisa berubah wujudnya menjadi para provokator yang selalu meneriakkan terompet kebencian kepada Islam dan umat Islam dengan beragam caranya. Hingga – bukan tidak mungkin – kebencian-kebencian publik terhadap Islam dan umat Islam, kini dan masa datang, akan terus menjadi realitas yang perlu kita sikapi dengan cerdas untuk – secara sistematik – kita hadapi dengan isu tandingan yang lebih menyejukkan. Agar kita (baca: umat Islam) tidak selalu dihantui oleh opini publik yang menyesatkan terhadap Islam dan umat Islam. Termasuk di dalamnya, ketika kita menghadapi menghadapi fenomena Islamophobia yang bukan hanya terjadi di kalangan komunitas non- Muslim, tetapi bahkan telah merasuk ke dalam jantung kehidupan umat Islam sendiri, yang – tentu saja — sangat memprihatinkan.
Untuk menyelesaikan persoalan umat Islam, ’Kita’ tidak bisa banyak berharap pada orang lain. Saatnya “kita” bekerja mandiri untuk melangkah “dengan sikap percaya diri”, melawan Abu Jahal modern yang berupaya untuk menciptakan citra negatif Islam, Islam yang menakutkan, menuju pada strategi pencitraan Islam yang serba positif, Islam yang ramah dan menyejukkan. “Islam rahmatan lil ’alamin yang ditunggu-tunggu, bukan saja oleh umat
Islam, tetapi oleh seluruh umat manusia. Dengan mengedepankan “wajah ramah Islam” untuk semuanya. Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar