Urgensi Literasi Media bagi Muhammadiyah


oleh: Nafi’ Muthohirin*
Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) Universitas Muhammadiyah Malang bersama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) belum lama ini menyelenggarakan diskusi bertajuk Muhammadiyah dan Urgensi Literasi di Media Sosial, Sabtu (10/12). Acara ini bukan hanya membahas buruknya budaya membaca dan menulis pada bangsa kita, melainkan juga melakukan oto kritik terhadap budaya literasi di lingkungan kader-kader Muhammadiyah.

Salah satu poin penting yang tersampaikan dari diskusi tersebut ialah literasi di sekitar warga Muhammadiyah masih minim. Paling tidak ada dua hal yang bisa dijadikan ukuran kenapa Persyarikatan kita sekarang relatif minim literasi, di antaranya; Pertama, dengan melihat seberapa banyak buku dan laporan penelitian yang menjadikan Muhammadiyah sebagai obyek riset, baik oleh kader maupun peneliti di luar Persyarikatan; Kedua, kekagetan warga Muhammadiyah dalam menyikapi perbedaan pandangan, paradigma pemikiran, dan keyakinan.

Dalam beberapa tahun terakhir, sangat jarang kita temui buku baru atau laporan penelitian dari para sarjana dalam dan luar negeri yang membahas tentang Muhammadiyah, baik dari sisi gerakan maupun pemikiran kekiniannya. Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah yang belum lama ini merilis 12 buku bertemakan Persyarikatan, juga bukan semuanya buku yang benar-benar baru, bahkan 4 di antaranya merupakan artikel bunga rampai dari sejumlah penulis muda Muhammadiyah.

Fakta tersebut menjelaskan bahwa ide pemikiran yang terbingkai ke dalam sebuah karya nyata di lingkungan Muhammadiyah mengalami perlambatan –untuk tidak mengatakan terjadi stagnasi. 

Kader-kader kita, mau diakui atau tidak, lebih sibuk pada urusan pengelolaan amal usaha dan konflik internal dibanding meluangkan waktu untuk menuangkan gagasan cerdasnya ke dalam sebuah buku, apalagi karya yang dibuat punya bobot kualitas mumpuni (hasil riset dengan metodologi yang kuat).

Padahal, untuk saat ini, khususnya pasca Muktamar Makassar (2015), konsistensi gerakan Muhammadiyah mengawal isu-isu kebangsaan dan kemanusiaan universal memiliki sudut pandang beragam yang menarik untuk dikaji lebih mendalam, misalnya saja tentang bagaimana organisasi Islam yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tersebut mengawal isu-isu keberagaman, pembelaan terhadap kelompok minoritas, pelayanan difabel, dialog antar madzab, advokasi sumber daya alam, jihad konstitusi, menyuarakan etika dan perdamaian global, serta perluasan dakwah kultural yang menjangkau berbagai komunitas.

Jika tradisi literasi ini membudaya di lingkangan para kader, kemudian topik-topik problem kemanusiaan itu benar-benar diangkat ke dalam sebuah karya nyata (dalam bentuk buku atau jurnal ilmiah), maka salah satu poin rekomendasi Muktamar Makassar yang menginginkan supaya Muhammadiyah melakukan internasionalisasi gerakan, tidak mustahil akan dengan cepat terealisasi.
Para sarjana di kampus-kampus bonafit di luar negeri akan dengan mudah menjadikan karya-karya tersebut sebagai rujukan untuk membaca pergerakan Islam di Indonesia.

Selain itu, dari berbagai buku atau artikel jurnal ilmiah itu juga, kita berharap akan kembali melihat perkembangan umat Islam di Indonesia yang penuh dengan keramahan, toleransi, serta peduli terhadap kepentingan umat dan bangsa. Dengan begitu, Muhammadiyah bisa menjadi “alat dorong” yang memotivasi masyarakat untuk menjadi bangsa yang berkemajuan (baca: berperadaban).

Maraknya berbagai ujaran kebencian dan olok-olok (berkata kasar) dengan menyinggung perbedaan pilihan politik, paradigma pemikiran dan keyakinan di banyak jejering sosial adalah bukti yang tidak bisa dibantah bahwa bangsa ini tengah mengalami nirliterasi yang akut.

Dalam laporan penelitian yang bertajuk World’s Most Literate Nation, yang disusun oleh Central Connecticut State University belum lama ini mengungkapkan, “bangsa yang masuk dalam kategori illiterate, masyarakatnya cenderung suka mengeluarkan kata-kata kotor dan kasar, berperilaku brutal dan suka merusak, serta kerap melanggar hak asasi manusia.” Sayangnya, sebagaimana disebut dalam riset itu, bahwa tingkat literasi Indonesia berada di peringkat ke-60 dari 61 negara yang diteliti.

Kaitannya dengan yang terjadi di lingkungan kader-kader Persyarikatan, bahwa sebagian di antara kita kerap kaget ketika merespons sebuah perbedaan pandangan. Hal ini dengan mudah kita temui di berbagai akun pribadi dan grup media sosial yang “ditinggali” oleh para aktivis Muhammadiyah, baik yang berada di Facebook, Twitter maupun WhatsApp. Kita tidak perlu mengingkari bahwa meski kita adalah bagian.

Selain itu, hal ini bisa menjadi oto kritik bagi kita semua, bahwa potret ketidakcakapan menyerap informasi juga melekat pada diri sebagian aktivis Muhammadiyah, bentuknya adalah dengan mempercayai artikel dan gambar berita palsu (hoax). Padahal, konten berita-berita bodong yang akhir-akhir ini memarakkan saluran sosial tak lebih dari sekedar informasi bodong, penuh propaganda, dan membodohi umat.

Dalam hal ini, literasi di media sosial dapat dijadikan lapangan baru bagi kerja sosial Muhammadiyah. Kerja-kerja di bidang teknologi informasi ini perlu dikerjakan secara serius (tidak sampingan) karena memuat beberapa urgensi, di antaranya: Pertama, menyelamatkan masa depan anak-anak muda –yang dalam hal ini merupakan pengguna mayoritas internet- dari cara berfikir yang instan akibat akses informasi yang begitu mudah.

Paling tidak, anak-anak muda ini, dapat membiasakan diri untuk tidak menelan informasi yang masuk secara mentah. Sebab itu, literasi yang perlu difahamkan dan diajarkan oleh Muhammadiyah kepada kelompok produktif tersebut yaitu mengajak mereka untuk selalu bersikap korektif: Setiap informasi pertama yang diterima, mesti diikuti dengan informasi kedua; setiap first look harus diikuti dengan second look supaya dapat menyingkap kebenaran yang dimaksud.

Kedua, sebagaimana rekomendasi Muktamar Makassar (2015), bahwa Muhammadiyah perlu melakukan internasionalisasi gerakan. Menurut hemat penulis, dengan menyemarakkan kerja-kerja literasi di dunia maya, langkah ini bisa menjadi corong yang menyuarakan gerakan dan pemikiran sosial, pendidikan serta intelektual yang bisa didengar oleh masyarakat global.

Strateginya, sejak sekarang kampus-kampus Muhammadiyah perlu membuka kursus online yang membahas tema-tema Persyarikatan, agama, budaya dan berbagai hal yang mengemuka di negeri ini, dan bisa diikuti oleh warga dari seluruh dunia, hal ini sebagaimana yang sudah dipraktikkan oleh banyak kampus ternama di luar negeri seperti Harvard University, Notre Dame University, Oxford University dan lainnya.
——————————-
*Penulis adalah Dosen Agama di Universitas Muhammadiyah Malang dan Anggota Lembaga Informasi dan Komunikasi PWM Jatim.
sumber : suaramuhammadiyah.id
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar