Musuh terbesar manusia adalah diri sendiri. Diri yang mengandung dan
membesarkan ego, yang daya dorongnya dahsyat laksana magma memicu
letusan gunung berapi. Diri yang sering kali menjelma menjadi musuh
sesama, bahkan berseteru dengan akal budinya yang otentik. Diri yang
terjebak dalam ta’bid ’an al-nafs, menjadikan tubuh dan jiwanya sebagai
budak pesona dunia.
Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri di tengah relasi orang lain dan lingkungannya. Dalam bahasa kaum Freudian, konflik antara hasrat gratifikasi ego diri dan tertib sosial. Apakah dia menjadi pemenang seperti Habil atau pecundang pada diri Kabil? Kedua putra Adam Alaihi Salam itu memberi pelajaran awal tentang sejarah perang melawan diri dan sesama.
Pada titik dialektik antara hasrat dan kendali diri itulah sesungguhnya Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui peristiwa kurban pada Idul Adha mengajarkan mosaik rohaniah yang berharga. Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menaklukkan dirinya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki.
Mana mungkin ketiga insan kekasih Tuhan itu rela hati berkorban nyawa Ismail jika mereka masih terbelenggu oleh ego diri dengan segala kepentingannya yang ragawi. Mereka adalah insan yang terbebaskan dan tercerahkan dari hasrat egoisme yang naif, kemudian menjelma menjadi para altruis yang menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang utama.
Sangkar besi ego
Ketika umat Islam merayakan Idul Adha diiringi berhaji dan berkurban, terkuak proses dekonstruksi kesadaran manusia akan sangkar besi egoisme. Bahwa ibadah pada bulan Zulhijah itu bukan sekadar ritual yang rutin dan verbal, melainkan mengandung makna terdalam tentang penaklukan ego manusia akan kepentingan dirinya.
Ego itu memang menyatu dalam diri, tetapi manakala tak dikendalikan akal-budi yang beralaskan fitrah Ilahiah, sering menjadi berhala sang diri.
Ketika bangsa ini masih dililit problem kesenjangan sosial dengan segelintir orang atau kelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri. Tatkala korupsi, konflik sosial, dan perilaku aji mumpung masih menjadi pemandangan umum. Sesungguhnya sumber utamanya karena ketamakan ego untuk memiliki apa saja dengan hasrat rakus. Mereka hanya mengabdi pada libido ketamakan yang tak berkesudahan, tak peduli jika harus merugikan kehidupan sesama dan semesta.
Laksana Firaun yang tak kenyang kuasa, Qarun yang haus harta, dan Hammam sang birokrat korup. Ketiganya menjadi budak kepentingan diri dan kesenangan duniawi yang melampaui batas. Mereka tak pernah puas diri meraih kedigdayaan dunia hingga ajal (QS At-Takatsur: 1-2). Mereka secara lahiriah tampak digdaya di hadapan orang lain, tetapi sejatinya menjadi pecundang diukur dari posisi manusia sebagai insan kamil.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa melawan hawa nafsu dalam diri sebagai jihad akbar. Perang menaklukkan diri melebihi perang Badar dan Uhud. Sejarah mencatat, banyak para pejuang rakyat sukses naik ke puncak takhta, kemudian jatuh karena ulah dirinya yang melampaui batas sebagaimana kisah para tiran dan pialang hitam di setiap negeri yang berakhir tragis. Ketika sang diri ingin populer dan memanjakan hasrat sendiri, dia mengorbankan kolektivitas.
Orang-orang naik tangga meraih kisah sukses, tetapi berujung di Sukamiskin karena korupsi, narkoba, dan kejahatan kerah putih. Akar masalahnya pada kegagalan menaklukkan diri yang haus dunia. Mereka itulah yang terbelenggu sangkar besi nafsu egoisme yang memuja segala pesona dunia.
Orang beragama pun sering terpenjara oleh ego keagamaannya. Sikap semuci dengan menganggap diri paling suci dan orang lain jauh dari Nur Ilahi mencederai ketakwaan yang otentik (QS An-Nisa: 49). Keberagamaan yang radikal-ekstrem (ghuluw) pun sama artifisialnya karena memutlakkan segala pandangan menurut dirinya, yang tidak jarang melahirkan tafkiri dengan menganggap orang lain sesat. Beragama seperti itu terjebak pada egosentrisme, yang kerap melahirkan intoleransi dan keangkuhan beragama yang disakralisasikan. Gesekan beragama sering bermula dari egoisme keagamaan yang naif itu.
Maka sembelihlah egoisme tatkala Idul Adha tiba sebagai ibadah sarat makna otentik agar setiap Muslim menjadi insan yang meraih nikmat kemenangan: ”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS Al-Kautsar: 1-3).
Menjadi altruis
Nilai berkorban dan berhaji meniscayakan lahirnya jiwa altruis, sikap empati, dan berbagi kebajikan sepenuh hati untuk orang lain tanpa sekat agama, suku, ras, dan golongan lebih-lebih bagi mereka yang hidupnya kurang beruntung. Jiwa altruis menempatkan kepentingan orang lain melebihi kepentingan diri dan kelompok sendiri demi tegaknya segala kebajikan yang luhur dan utama.
Dalam narasi kaum interaksionis simbolik, sikap altruis itu memosisikan ego (diri) dengan alter (orang lain) dalam proses refleksivitas. Para individu yang semula egois belajar berbagi posisi dan peran sosial sebagaimana hidup bermasyarakat sehingga mampu meletakkan diri di tempat orang lain dan berperilaku sebagaimana orang lain.
Sikap altruis diwujudkan dalam tindakan manifes, seperti gemar menolong, berbagi rezeki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, serta berbagai bentuk kebaikan sosial yang melampaui.
Perilaku altruis mencegah diri dari segala bentuk kerakusan diri yang merugikan orang lain dan menimbulkan kerusakan hidup, seperti korupsi, gratifikasi, eksploitasi alam, monopoli, kejahatan kerah putih, politik uang, dan segala tindakan asosial.
Jiwa altruis lahir dari ihsan, kebajikan melampaui sebagai pantulan dari habluminallah terhadap habluminannas. Sikap toleran terhadap keragaman dan menjauhkan diri dari intoleransi termasuk dalam altruis. Semua bermuara pada harmoni dan kebaikan dalam hubungan dengan sesama dan lingkungan kehidupan sekaligus anti ketimpangan, anti ketidakadilan, anti kekerasan, dan anti perusakan.
Sikap altruis melahirkan solidaritas sosial yang genuine. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bahwa Allah SWT membela para hambanya yang membela sesamanya. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap sosial yang luhur itu harus terus ditumbuhkan ketika egoisme cenderung merebak dalam kehidupan bangsa.
Jika ketimpangan sosial masih tinggi dan segelintir orang menguasai kekayaan negeri tanpa rasa sungkan, itu menunjukkan luruhnya altruisme dan solidaritas sosial yang otentik dalam kehidupan kolektif bangsa ini.
Dalam relasi sosial biasa boleh jadi semangat solidaritas itu masih tumbuh, seperti dalam kegiatan gotong royong dan upacara- upacara lingkaran hidup, tetapi dalam relasi struktural, seperti melebarnya kesenjangan sosial, menggambarkan luruhnya solidaritas kolektif di tubuh bangsa ini. Orang tidak mungkin serakah dan hanya mengejar kepentingan diri secara berlebihan, apalagi menyebabkan kerugian bagi sesama, manakala di dalam dirinya tertanam jiwa altruis dan solidaritas sosial yang hakiki.
Emile Durkheim memosisikan solidaritas sosial sebagai fenomena moral, yang ditunjukkan oleh kesetiakawanan, yakni suatu relasi antarindividu yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Sikap moral yang melandasi solidaritas sosial itu tidak akan tumbuh mekar manakala tidak lahir dari jiwa altruis yang autentik sebagaimana ajaran kurban dan kemabruran haji dalam rangkaian ibadah Idul Adha.
Pasca Idul Adha, setiap Muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, mengadvokasi kaum kaya agar berbagi, dan membangun hubungan yang menebar serba kebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi.
Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama. Orientasi keagamaan yang indah ini jangan mekar sesaat di kala ritual, tetapi mewujud dan menyebar luas sepanjang masa dalam spirit keagamaan yang membawa rahmat bagi semesta raya!
Sejarah manusia sesungguhnya dimulai dari pertarungan hidup menaklukkan segala hasrat dan kepentingan diri di tengah relasi orang lain dan lingkungannya. Dalam bahasa kaum Freudian, konflik antara hasrat gratifikasi ego diri dan tertib sosial. Apakah dia menjadi pemenang seperti Habil atau pecundang pada diri Kabil? Kedua putra Adam Alaihi Salam itu memberi pelajaran awal tentang sejarah perang melawan diri dan sesama.
Pada titik dialektik antara hasrat dan kendali diri itulah sesungguhnya Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar melalui peristiwa kurban pada Idul Adha mengajarkan mosaik rohaniah yang berharga. Bahwa setiap insan beriman akan naik tangga ke puncak keutamaan tertinggi jika sukses menaklukkan dirinya demi sesuatu yang lebih luhur dan hakiki.
Mana mungkin ketiga insan kekasih Tuhan itu rela hati berkorban nyawa Ismail jika mereka masih terbelenggu oleh ego diri dengan segala kepentingannya yang ragawi. Mereka adalah insan yang terbebaskan dan tercerahkan dari hasrat egoisme yang naif, kemudian menjelma menjadi para altruis yang menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan yang utama.
Sangkar besi ego
Ketika umat Islam merayakan Idul Adha diiringi berhaji dan berkurban, terkuak proses dekonstruksi kesadaran manusia akan sangkar besi egoisme. Bahwa ibadah pada bulan Zulhijah itu bukan sekadar ritual yang rutin dan verbal, melainkan mengandung makna terdalam tentang penaklukan ego manusia akan kepentingan dirinya.
Ego itu memang menyatu dalam diri, tetapi manakala tak dikendalikan akal-budi yang beralaskan fitrah Ilahiah, sering menjadi berhala sang diri.
Ketika bangsa ini masih dililit problem kesenjangan sosial dengan segelintir orang atau kelompok kecil menguasai bagian terbesar kekayaan negeri. Tatkala korupsi, konflik sosial, dan perilaku aji mumpung masih menjadi pemandangan umum. Sesungguhnya sumber utamanya karena ketamakan ego untuk memiliki apa saja dengan hasrat rakus. Mereka hanya mengabdi pada libido ketamakan yang tak berkesudahan, tak peduli jika harus merugikan kehidupan sesama dan semesta.
Laksana Firaun yang tak kenyang kuasa, Qarun yang haus harta, dan Hammam sang birokrat korup. Ketiganya menjadi budak kepentingan diri dan kesenangan duniawi yang melampaui batas. Mereka tak pernah puas diri meraih kedigdayaan dunia hingga ajal (QS At-Takatsur: 1-2). Mereka secara lahiriah tampak digdaya di hadapan orang lain, tetapi sejatinya menjadi pecundang diukur dari posisi manusia sebagai insan kamil.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa melawan hawa nafsu dalam diri sebagai jihad akbar. Perang menaklukkan diri melebihi perang Badar dan Uhud. Sejarah mencatat, banyak para pejuang rakyat sukses naik ke puncak takhta, kemudian jatuh karena ulah dirinya yang melampaui batas sebagaimana kisah para tiran dan pialang hitam di setiap negeri yang berakhir tragis. Ketika sang diri ingin populer dan memanjakan hasrat sendiri, dia mengorbankan kolektivitas.
Orang-orang naik tangga meraih kisah sukses, tetapi berujung di Sukamiskin karena korupsi, narkoba, dan kejahatan kerah putih. Akar masalahnya pada kegagalan menaklukkan diri yang haus dunia. Mereka itulah yang terbelenggu sangkar besi nafsu egoisme yang memuja segala pesona dunia.
Orang beragama pun sering terpenjara oleh ego keagamaannya. Sikap semuci dengan menganggap diri paling suci dan orang lain jauh dari Nur Ilahi mencederai ketakwaan yang otentik (QS An-Nisa: 49). Keberagamaan yang radikal-ekstrem (ghuluw) pun sama artifisialnya karena memutlakkan segala pandangan menurut dirinya, yang tidak jarang melahirkan tafkiri dengan menganggap orang lain sesat. Beragama seperti itu terjebak pada egosentrisme, yang kerap melahirkan intoleransi dan keangkuhan beragama yang disakralisasikan. Gesekan beragama sering bermula dari egoisme keagamaan yang naif itu.
Maka sembelihlah egoisme tatkala Idul Adha tiba sebagai ibadah sarat makna otentik agar setiap Muslim menjadi insan yang meraih nikmat kemenangan: ”Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus” (QS Al-Kautsar: 1-3).
Menjadi altruis
Nilai berkorban dan berhaji meniscayakan lahirnya jiwa altruis, sikap empati, dan berbagi kebajikan sepenuh hati untuk orang lain tanpa sekat agama, suku, ras, dan golongan lebih-lebih bagi mereka yang hidupnya kurang beruntung. Jiwa altruis menempatkan kepentingan orang lain melebihi kepentingan diri dan kelompok sendiri demi tegaknya segala kebajikan yang luhur dan utama.
Dalam narasi kaum interaksionis simbolik, sikap altruis itu memosisikan ego (diri) dengan alter (orang lain) dalam proses refleksivitas. Para individu yang semula egois belajar berbagi posisi dan peran sosial sebagaimana hidup bermasyarakat sehingga mampu meletakkan diri di tempat orang lain dan berperilaku sebagaimana orang lain.
Sikap altruis diwujudkan dalam tindakan manifes, seperti gemar menolong, berbagi rezeki, melapangkan jalan orang yang kesulitan, mengentaskan mereka yang lemah, membela orang yang terzalimi, suka meminta dan memberi maaf, mengedepankan kepentingan orang banyak, serta berbagai bentuk kebaikan sosial yang melampaui.
Perilaku altruis mencegah diri dari segala bentuk kerakusan diri yang merugikan orang lain dan menimbulkan kerusakan hidup, seperti korupsi, gratifikasi, eksploitasi alam, monopoli, kejahatan kerah putih, politik uang, dan segala tindakan asosial.
Jiwa altruis lahir dari ihsan, kebajikan melampaui sebagai pantulan dari habluminallah terhadap habluminannas. Sikap toleran terhadap keragaman dan menjauhkan diri dari intoleransi termasuk dalam altruis. Semua bermuara pada harmoni dan kebaikan dalam hubungan dengan sesama dan lingkungan kehidupan sekaligus anti ketimpangan, anti ketidakadilan, anti kekerasan, dan anti perusakan.
Sikap altruis melahirkan solidaritas sosial yang genuine. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW bahwa Allah SWT membela para hambanya yang membela sesamanya. Dalam kehidupan sehari-hari, sikap sosial yang luhur itu harus terus ditumbuhkan ketika egoisme cenderung merebak dalam kehidupan bangsa.
Jika ketimpangan sosial masih tinggi dan segelintir orang menguasai kekayaan negeri tanpa rasa sungkan, itu menunjukkan luruhnya altruisme dan solidaritas sosial yang otentik dalam kehidupan kolektif bangsa ini.
Dalam relasi sosial biasa boleh jadi semangat solidaritas itu masih tumbuh, seperti dalam kegiatan gotong royong dan upacara- upacara lingkaran hidup, tetapi dalam relasi struktural, seperti melebarnya kesenjangan sosial, menggambarkan luruhnya solidaritas kolektif di tubuh bangsa ini. Orang tidak mungkin serakah dan hanya mengejar kepentingan diri secara berlebihan, apalagi menyebabkan kerugian bagi sesama, manakala di dalam dirinya tertanam jiwa altruis dan solidaritas sosial yang hakiki.
Emile Durkheim memosisikan solidaritas sosial sebagai fenomena moral, yang ditunjukkan oleh kesetiakawanan, yakni suatu relasi antarindividu yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Sikap moral yang melandasi solidaritas sosial itu tidak akan tumbuh mekar manakala tidak lahir dari jiwa altruis yang autentik sebagaimana ajaran kurban dan kemabruran haji dalam rangkaian ibadah Idul Adha.
Pasca Idul Adha, setiap Muslim perlu merayakan solidaritas sosial sebagai budaya dan praksis sosial untuk membela kaum lemah, mengadvokasi kaum kaya agar berbagi, dan membangun hubungan yang menebar serba kebajikan dengan sesama yang bersifat melintasi.
Budaya dan praksis solidaritas sosial juga disebarluaskan melalui harmonisasi sosial yang memupuk benih-benih toleransi, welas asih, damai, dan saling memajukan yang membawa pada kebajikan hidup kolektif yang luhur dan utama. Orientasi keagamaan yang indah ini jangan mekar sesaat di kala ritual, tetapi mewujud dan menyebar luas sepanjang masa dalam spirit keagamaan yang membawa rahmat bagi semesta raya!
-=HAEDAR NASHIR=-
(Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah)
*Artikel dimuat di Harian KOMPAS, 11 September 2016.
0 komentar:
Posting Komentar