Perjuangan Cinta Soedirman: Di Muhammadiyah Sang Jenderal Menemukan Belahan Jiwanya



Panglima Besar Jenderal Soedirman terkenal sebagai sosok yang keras dan teguh memegang pendirian. Namun, Jenderal Besar itu juga manusia. Hatinya meleleh di kota terpencil tepi pantai Selatan, Cilacap.

Hatinya tertambat pada seorang gadis. Bukan gadis sembarangan. Siti Alfiah adalah primadona di kota kecil di Jawa Tengah itu. Keduanya bertemu di Perkumpulan Wiworotomo. Ini adalah organisasi intrasekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan sekolah menengah pertama Parama Wiworotomo, Cilacap.”Keduanya sama-sama aktivis di Pemuda Muhammadiyah Cilacap,” kata Sejarawan Universitas Negeri Yogyakarta, Sardiman.

Alfiah adalah gadis cantik yang tengah beranjak dewasa. Saat itu, banyak laki-laki yang naksir padanya. Sementara Soedirman juga bukan pemuda sembarangan. Pria kelahiran 24 Januari 1916 itu sangat disegani di lingkungannya. Dia pandai berpidato, pemain sepak bola dan teater yang handal serta sangat alim. Bahkan teman-temannya menjuluki dia ‘Kaji’ atau Haji.

“Saat itu Soedirman seorang pemuda top. Banyak gadis tertarik padanya karena aktivitasnya itu. Banyak orangtua yang berebut ingin menjadikan dia sebagai menantunya,” kata Sardiman.

Berbagai cara Soedirman mendekati Alfiah. Soedirman memilih kembang desa itu sebagai bendahara saat menjadi panitia teater agar keduanya bisa lebih dekat. Saat itu Soedirman menjadi ketua panitia. Soedirman juga kerap berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah.

Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Sementara orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah. Dari kebiasaan itulah, teman-temannya mulai menyadari jika Soedirman menaksir Alfiah. Sejak itu, tak ada laki-laki yang berani mendekati Alfiah.

Namun, kisah cinta Soedirman tak berjalan mulus. Cintanya kepada Alfiah tak direstui justru bukan oleh orangtua kembang desa itu. Melainkan oleh paman Alfiah bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel.

Mukmin ingin agar Alfiah mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Sementara Soedirman hanya anak ajudan wedana yang bergaji kecil. Akhirnya, semua ongkos pernikahan itu disiapkan oleh ibundanya, agar Soedirman tak disepelekan oleh keluarga Alfiah.

Tapi, sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar oleh Presiden Sukarno.

Cinta Soedirman begitu besar pada Alfiah. Dia selalu menyiapkan baju sang istri. Soedirman ingin agar Alfiah selalu terlihat cantik.

Alfiah pun sangat mencintai Soedirman. Dia rela merokok demi sang suami yang tengah tergolek di rumah sakit Panti Rapih, Yogyakarta, bisa mencium aroma rokok. Saat itu, Soedirman meminta Alfiah merokok dan meniupkan asap rokok ke wajahnya. Sejak peristiwa itu, Alfiah menjadi seorang perokok.


Soedirman sudah lama menderita tuberkolosis. Dengan separuh paru-parunya, dia terus bergerilya. Saat itu dia meninggalkan sang istri dan bergerilya di Madiun, Jawa Timur untuk memimpin operasi penumpasan pemberontakan Partai Komunis.

Pada akhir September 1948, Soedirman kembali. Dia berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Soedirman yang terlihat ringkih mengatakan kepada istrinya, dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman rupanya begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah yang terjadi antara rakyat Indonesia itu.
 
Malam itu, kendati kondisi kesehatannya menurun, Soedirman tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak diindahkan. Dan inilah awal petaka bagi Soedirman. Esoknya, sang Jenderal terkapar di tempat tidur.

Kendati tengah terbaring sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa dihilangkan. Sesekali, sembari terbaring, dia menghisap rokok kretek. Alfiah tak berani melarang, karena tahu Soedirman memang perokok berat.

Sejumlah dokter tentara memeriksa kesehatannya. Tim dokter muda mendiagnosis ia menderita tuberkolosis, infeksi paru-paru. Keluarga Soedirman meminta dua dokter senior, Asikin Wijayakusuma dan Sim Ki Ay memeriksa Soedirman kembali. Hasilnya tak jauh berbeda. Atas saran Asikin, Soedirman dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.

Soegiri, bekas ajudan Soedirman, menulis bagaimana saat sang Jenderal dirawat di rumah sakit Katolik itu. Soedirman dirawat di kamar 8 Bangsal Maria, yang berada di bagian depan rumah sakit. Pria kelahiran Purbalingga itu terkena pulmonary tuberculosis. Penyakit itu diketahui Soegiri dari dokter yang merawat Soedirman.

Menurut Soegiri, obat yang dibutuhkan Soedirman hanya ada di Jakarta. Kalaupun sampai di Yogyakarta, obat itu harus melalui jalur penyelundupan. Karena Jakarta saat itu dikuasai tentara sekutu.

Karena Soedirman butuh pengamanan cepat, tim dokter memutuskan melakukan operasi untuk menyelamatkannya dengan cara membuat satu paru-parunya tak berfungsi.

Komplikasinya, kata Soegiri, memang sudah sedemikian rupa, sehingga membuat dokter menempuh cara tersebut. Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernafasan.

Sebulan menjalani perawatan di rumah sakit, Soedirman pulang ke rumahnya di Bintaran. Saat di rumah, Soedirman pernah beberapa kali tak bisa menahan hasrat ingin merokok. Perilaku ini, lagi-lagi justru memperburuk kesehatannya. Soedirman pernah muntah darah. Pada 17 Desember 1948, keajaiban datang. Soedirman tiba-tiba bisa bangkit dari tempat tidur.

Hari itu, kepada istrinya, Soedirman berkata memiliki firasat Belanda akan melakukan agresi. Dua hari berselang, firasat sang Jenderal terbukti: Belanda membombardir Yogyakarta, yang saat itu Ibu Kota Indonesia. Ia pun memilih mengakhiri cutinya.



Dengan diusung tandu, hampir delapan bulan Soedirman keluar masuk hutan memimpin gerilya dari luar Yogyakarta. Pernah ia tidak makan selama lima hari. Dengan perut kosong, Soedirman menembus medan yang diguyur hujan lebat. Sesampai di Pacitan, Jawa Timur, ia sakit. Anak buahnya terpaksa mendatangkan dokter dari Solo. Rika, suster yang merawat Soedirman, kala itu menulis pengalamannya saat bersama Jenderal Besar ini.

Menurut dia, saat itu Soedirman dirawat dengan nama samaran: Abdullah Lelana Putra. Pengakuan Rika pada 1985 itu dimuat surat kabar yang naskahnya kini tersimpan di Museum Sasmitaloka. Soedirman memakai nama samaran supaya keberadaannya tidak diketahui Belanda. Beberapa minggu kemudian dia kembali ke rumah.


Firasat Kematian Soedirman
Seolah-olah mendapat firasat hari kematiannya segera tiba, pada 18 Januari 1950, Soedirman meminta sejumlah petinggi tentara menemuinya di Badakan. Esok harinya, ia memanggil istri dan tujuh anaknya.

Dia memberi wejangan kepada istri dan anak-anaknya. Tak sepenuhnya pertemuan dengan keluarga itu diisi dengan wejangan. Soedirman juga sempat bergurau. Kepada keluarganya, ia menyatakan sebenarnya ingin seperti Lurah Pakis, kenalannya, yang hidup sampai tua dan bisa meminang cucu.



Pada Senin, 29 Januari 1950, kondisi tubuh Jenderal Soedirman semakin lemah. Berlinang air mata, Siti Alfiah meminta suaminya tegar. Soedirman menatap istrinya dan meminta perempuan yang dicintainya itu menuntunnya membaca kalimat tauhid. Satu kalimat terucap, Soedirman kemudian mangkat.

Soedirman pergi dalam usia muda, 34 tahun. Esok harinya, ribuan orang ikut mengantarkan jenazahnya ke Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Hari itu hujan turun lebat mengguyur Kota Yogyakarta. Tembakan salvo satu regu tentara di pemakaman Semaki mengantar Jenderal Besar itu ke tempat peristirahatan terakhirnya.

Ia dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Pada 1997, dia mendapat gelar sebagai Jenderal Besar Anumerta dengan bintang lima, pangkat yang hanya dimiliki oleh beberapa jenderal di RI sampai sekarang.

sumber : http://sangpencerah.id
Share on Google Plus

About Unknown

0 komentar:

Posting Komentar