WARTAMU, JOMBANG - Publik dibikin jenggah. Beredar di
media sosial olok-olok pada lembaga pemberantasan korupsi. Uang seratus
juta yang diberikan polisi untuk keluarga Siyono dianggap bukan korupsi
karena di bawah satu miliar. Tapi untuk jumlah uang yang sama, seorang
petinggi negeri ditangkap tangan dengan pasal tindakan korupsi. Semoga
itu hanya satir, bukan sungguhan.
Satir sosial juga menyeruak ketika pendaftaran Pilkada hari-hari
terakhir ini. Ketika calon kepala daerah yang selama ini ditengarai
publik lebih akrab dengan dunia kapital dan menggusur rakyat jelata dari
tempat tinggal dan kehidupannya, malah diusung kekuatan yang selama ini
menyuarakan nasib wong cilik. Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan
mendatangi KPU Pusat, serta sekelompok orang berdemo, menentang
pencalonan itu karena sang calon dianggap membawa masalah di daerahnya.
Khalayak resah bertanya lirih, ada apa dengan dunia politik di negeri
ini?
Publik dibikin (harus) terpesona dengan gaya kepemimpinan seseorang
ketimbang apa yang sejati dilakukannya. Jika Anda ceplas-ceplos,
terbuka, dan tonjok sana-sini maka itulah pemimpin hebat, tegas,
antikorupsi, dan pendobrak. Tak perlu disoal rekam jejak politik dan
kebijakannya secara aktual. Media massa dan media sosial pun
mempromosikan pemimpin akrobatik ini. Manakala ditanya, apa sesungguhnya
kesuksesan sang pemimpin? Semua menjadi absurd laksana dunia simulasi!
Realitas Buatan
Adalah Jean Baudrillard (1929-207) pemikir post-strukturalisme yang
memperkenalkan konsep dunia simulasi. Beragam tampilan bercitra indah
dihadirkan di pentas seolah nyata tetapi sejatinya sarat rekayasa. Dalam
dunia simulasi berlaku hukum simularcra, yaitu "daur ulang atau
reproduksi objek dan peristiwa". Objek atau peristiwa itu diperagakan
seakan sama atau mencerminkan realitas aselinya, tetapi sesungguhnya
maya. Sungguh, "sulit memperkirakan hal-hal yang nyata dari hal-hal yang
menyimulasikan yang nyata itu", ujar pemikir posmodern asal Perancis
itu.
Baudrillard memberi contoh media massa. Media, ujar dia, lebih banyak
menampilkan dunia simulasi yang bercorak hiperrealitas, suatu kenyataan
yang dibangun oleh media tetapi seolah benar-benar realitas. Media tidak
lagi mencermirkan realitas, bahkan menjadi realitas itu sendiri.
Saksikan dengan seksama bahaimana media mendramatisasi peristiwa, jika
suka atau tidak suka. Semua ada narasi simulasinya. Dia menyebutnya
sebagai "cyberblitz".
Ketika berlangsung Pilkada atau Pilpres, media sesuai seleranya akan
membahas dan menayangkan berita atau ulasan yang sudah diatur selaras
dengan kemauan politik yang ada di belakangnya. Calon tertentu yang
didukungnya atau bila media bersimpati padanya akan dilambungkan
sedemikian rupa, sebaliknya yang tidak didukung akan dijadikan objek
penderita. Caranya sumir, seakan ada cover both sides, tetapi
tetap memihak. Narasumber yang ditampilkan pun sejalan dengan kehendak
media itu, meski ada sejumlah narasumber lain, tetapi selalu ada
narasumber utama dan pembawa acara atau moderator yang akan menjadi
pengunci arah sepihak.
Pengamat, lembaga survey, dan ilmuwan pun tidak sedikit yang masuk
dalam dunia simulacra yang sarat ralitas buatan itu. Pada hari pertama
ketika pasangan Cagub-Cawagub DKI akan diumumkan oleh sebuah partai,
seorang ilmuwan politik menulis panjang di sebuah koran ternama ibu
kota. Tulisannya tampak ilmiah, tetapi terasa sekali menyudutkan
calon-calon lain yang akan menjadi penantang petahana. Sang penulis
sembari tampak bersimpati pada sang petahana sekaligus memprovokasi agar
partai terbesar segera menentukan pilihan yang arahnya ke petahana itu.
Hasilnya sama yang ditulis sang ilmuwan, bahkan sore harinya dengan
gairah tinggi ilmuwan itu tampil menjadi narasumber utama pada sebuah
televisi ternama yang juga sejak awal memang cenderung ke patahana.
Inilah dunia politik, media, dan keilmuan yang terjangkiti simulacra.
Ralitas yang ditampilkan tampak benar dan objektif, tetapi sebuah
kebenaran dan objektivitas yang dikonstruksi sesuai selera para aktor
yang berkepentingan. Di belakang media dan ilmuwan tidak jarang bertahta
rezim-rezim penguasa dan pemilik modal besar yang mengendalikan
realitas yang direproduksi ke khalayak itu untuk menciptakan dunia yang
seolah sebenarnya tetapi sudah terekayasa.
Baudrillard jenggah dengan dunia sarat simulasi yang memproduksi
realitas semu itu. Pengalaman hidupnya di pusat Paris sebagai pusat
peradaban modern Eropa yang gemerlap sekaligus paradoks, telah
memebentuk alam pikir yang serbamembongkar. Dengan garang Jean bersuara
lantang, "dunia kehidupan manusia telah masuk pada kebudayaan kematian".
Dia bahkan menjadi pemikir posmomodern-radikal. Dalam petualangan
intelektualnya, pascakunjungannya ke Amerika Serikat dan menyaksikan
banyak fenomena kehidupan yang antagonistik, dia berujar: "ingin
menyaksikan bentuk akhir dari bencana masa depan".
Hilang Makna
Dunia simulasi memang rumit, bahkan dari luar gemerlap. Dengan kultur baru masyarakat cyber,
dunia simulasi makin mendominasi habitus publik. Tampak serbaperkasa,
bahkan Anthony Gidden menyebutnya Jeggernout: laksana kereta raksasa
yang siap menggilas siapa saja dan apa saja yang berlawanan. Dunia
simulasi yanh sarat rekayasa itu meski boleh jadi digerakkan oleh
segelintir pihak, tetapi kehadirannya dikinstruksi meluas sehingga
menjadi realitas umum. Mereka yang menentangnya dianggap ketinggalan dan
siap dilindas.
Meski digdaya dan menjadi arus besar dunia kontemporer yang digemari,
sesungguhnya dunia sarat rekayasa itu hampa makna. Kehidupan yang
mengalami meaninglesness, tulis Anthony Giddens. Pemimpin tampak hebat,
tetapi sejatinya penuh topeng dan rentan moral. Politik dan dunia apapun
mengejar kesuksesan, ambisi, dan kejayaan dengan segala cara. Pada saat
yang sama tak peduli kehilangan nilai benar, baik, dan keadaban.
Laksana halaman rumah tanpa pagar, yang membuat orang boleh sembarang
masuk, lalu kehilangan banyak hal.
Kehidupan yang minus makna akan tampak perkasa tetapi di dalamnya
ringkih. Sebuah kehidupan yang oleh Max Weber dan Friedrich Schiller
disebut telah mengalami disenchantment of the world, dunia yang
kehilangan pesona. Dari luar tampak serba cemerlang, tetapi di dalamnya
tersimpan seribusatu masalah dan kebobrokkan, yang menyesakkan
kehidupan. Ibarat bangunan yang megah tetapi penghuninya berantakan dan
tidak nyaman menikmati hidup.
Pilkada dirayakan sebagai pesta besar demokrasi. Calon diarak dan
didampingi petinggi partai dengan semangat meluap. Rakyat dihidangkan
janji-janji manis yang membius dan sejenak melupakannya dari derita.
Mereka yang pada umumnya buta huruf secara politik bahkan dininabobokan
oleh jargon para elite-nya yang menghipnotis. Tidak sadar bahwa nasib
wong cilik yang jelata dan tidak beruntung hidupnya itu berada di tangan
pada oligarki politik yang kehilangan arah makna. Lalu, rakyat pun
luluh tak berdaya secara politik. Usai menang, kehidupan kembali ke
titik normal, artinya wong cilik tidak berubah nasibnya.
Kepala daerah tidak jarang yang menjadi aktor canggih dalam berpolitik.
Demi memperoleh tunggangan politik, dia rela bersubordinasi. Tapi harap
dicatat, setelah menjadi pemenang ada yang mencampakkan partai
pendukung dan bermain api politik canggih. Pindah dari satu partai
politik ke partai lain sudah menjadi tabiat tanpa rasa sungkan. Ketika
di atas angin bahkan mengolok-olok partai politik, ketika berkeperluan
tidak malu menjilat ludah. Anehnya sebagian parpol pun nyaman mengikuti
irama politik oportunistik yang liar itu, tanpa rasa sungkan untuk
kehilangan marwah. Politik menjadi kehilangan nilai kehormatan,
keterpercayaan, moral, dan keadaban utama.
Politik agama pun tidak jarang berwajah keras, vulgar, dan kehilangan
santun. Agama yang mengajarkan damai dan keadaban ketika menjadi politik
berubah wajah menjadi garang. Politik agama dan politik sekuler seolah
nisbi batasnya, karena yang menyelinap ialah kepentingan-kepentingan
pragmatis: siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana caranya. Ada virus ananiyah-hizbiyah,
meski di depan ada bahaya masih saja mengutamakan kepentingan
sendiri-sendiri. Politik agama tampak kusam dan luruh kehilangan makna
utama.
Ada jarak yang lebar antara nilai dan laku. Baik atasnama agama maupun
politik dan sosial, orang dengan mudah saling hujat dengan aroma
permusuhan. Si arogan tetap digdaya dan dipuja. Sementara ujaran
kebencian menyeruak dari sosok-sosok wibawa hanya karena berbeda paham,
mazhab, aliran, serta orientasi keagamaan dan politik. Diksi agama
sebagai rahmatan lila'alaminberhenti dalam ujaran verbal, tidak membuahkan perilaku emas yang menyebarkan tindakan santun, damai, dan keadaban.
Dalam dunia simulacra yang minim arti itu segala hal menjadi serbaboleh
dan kerdil. Ibarat kebun tanpa pagar dan tak bertanaman produktif yang
memberi manfaat terbaik. Kehidupan menjadi rapuh nilai-utama yang
menyemai benih-benih kemuliaan melintas batas. Para aktornya menjadi
tampak egois, naif, tamak, dan garang. Dari luar seolah digdaya, di
dalamnya ringkih. Inilah dunia mata' al-ghurur, sebagaimana digambarkan
Tuhan dalam Alquran. Sebuah dunia kehidupan sarat paradoks simulasi yang
kehilangan sukma dan akhirnya masuk ke lubang hitam!
Berita Nasional
0 komentar:
Posting Komentar